Pada 1939, dalam persiapan Perang Dunia II, pemerintah Inggris menerbitkan poster bertuliskan “Keep Calm and Carry On”. Poster itu dimaksudkan untuk meningkatkan moral publik Inggris yang akan dipertemukan suara senjata, kendaraan tempur lapis baja, serta teriakan orang-orang yang bersimbah darah.

Meskipun poster tersebut dicetak 2,45 juta eksemplar, keberadaannya tidak banyak diketahui. Hingga pada 2000, seorang pemilik toko buku Barter Books di Alnwick, Inggris, menemukan salinan asli poster tersebut dalam kotak berisi buku-buku tua yang dia beli dari sebuah lelang. Desain sederhana dan sejarah di baliknya mengubah poster itu menjadi fenomena internasional.

Hari ini kita masih mendengar pesan yang sama. Kita dikelilingi nasihat yang menyarankan kita untuk berpikir positif, bahkan dalam keadaan yang buruk. Tren ini semakin langgeng karena disebarluaskan orang-orang yang telah berhasil mencapai tujuan. Status dan pencapaian yang mereka tunjukkan kita anggap sebagai bukti keabsahan kekuatan berpikir positif.

Kita terlena, hingga kemudian menjadi sangat terobsesi. Apa pun dan bagaimanapun plot kehidupan, kita akan selalu menguatkan keyakinan, dan menanamkan kepercayaan bahwa semua baik-baik saja.

  • Gagal diterima kerja? Tenang. Berpikir positif bahwa itu memang bukan pekerjaan yang tepat untukmu.
  • Bisnismu gagal? Tenang. Berpikir positif bahwa keberuntungan memang sedang tidak berpihak kepadamu.

Lihat, ketika kita berpikir positif, kita merasa memiliki kendali untuk membuat jalan kehidupan yang lancar. Keraguan yang membuat kita terjebak dalam pikiran tak berujung dan membatasi kita mengambil tindakan memiliki peluang besar untuk padam. Keyakinan kemudian tumbuh dan membentuk berbagai sudut pandang yang romantis. Kita bisa menjadi karyawan yang lebih bahagia, menjadi seseorang yang lebih produktif, lebih sukses, dan lebih superior.

Namun, bagaimana jika berpikir positif justru menghalangi diri kita?

Lebih dari dua dekade lalu, Gabriele Oettingen, seorang psikolog Jerman, melakukan penelitian terhadap perempuan yang terdaftar dalam program penurunan berat badan. Dia meminta para perempuan di sana untuk membayangkan dua skenario.

Kelompok pertama diminta membayangkan keberhasilan menyelesaikan program. Sedangkan kelompok lain diminta membayangkan diri mereka gagal dalam usaha ini. Oettingen kemudian meminta mereka untuk menilai seberapa positif atau negatif pikiran yang mereka hasilkan. Satu tahun kemudian, Oettingen memeriksa perempuan-perempuan tersebut.

Hasilnya? Semakin mereka membayangkan diri mereka dalam skenario positif, semakin sedikit berat badan yang turun.

Dalam studi lain yang dilakukan pada 2011, Oettingen dan timnya meminta dua kelompok mahasiswa untuk menuliskan peristiwa di minggu yang akan datang. Satu kelompok diminta membayangkan minggu itu berisi hal-hal menyenangkan—segala hal yang mereka harapkan terjadi, seperti nilai ujian yang baik, pesta yang menyenangkan, atau juga menonton acara TV favorit. Mahasiswa di kelompok lain diminta menuliskan apa pun yang mungkin terjadi di minggu yang akan datang. Mereka diberi keleluasaan untuk mengontrol skenario, tidak terbatas pada hal-hal menyenangkan saja.

Hasilnya lagi-lagi sama, para siswa yang berpikir positif melaporkan bahwa mereka kurang berenergi dan mengalami lebih sedikit pencapaian selama satu minggu itu dibanding kelompok dengan kontrol.

Dalam buku berjudul Rethinking Positive Thinking: Inside the New Science of Motivation, Oettingen menjelaskan bahwa, “Ketika kami meneliti fantasi positif, kami menemukan efek relaksasi pada tingkat fisiologis dengan menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik benar-benar menurun setelah membayangkan.” Dia juga menegaskan bahwa, “Ketika kita membayangkan, pikiran kita dibodohi dengan berpikir bahwa kita telah mencapai masa depan itu.”

Ini mengartikan bahwa hanya berpikir positif akan meningkatkan ketenangan, dan ketenangan akan meningkatkan kemalasan untuk mengambil tindakan lanjutan. Keyakinan kita terhadap diri sendiri juga semakin terkikis ketika kenyataan yang ada tidak berjalan sesuai dengan rancangan rencana kita.

Perasaan bingung, kecewa, dan frustasi kemudian membentuk kongsi untuk memperjelas keadaan. Beberapa orang akan terus melanjutkan kehidupan dengan pikiran positifnya, dan beberapa orang lainnya memilih jalan yang berlawanan. Mereka sadar bahwa kemampuan berpikir positif dalam menenangkan diri dan menutup kekecewaan yang sedang terjadi saat itu memang nyata, tetapi di saat bersamaan mereka juga telah menolak mendalami perasaan negatif yang sedang terjadi. Mereka kehilangan kesempatan untuk menemukan kekurangan yang telah dibuat karena menyangkal kenyataan secara utuh, yang sebenarnya bisa mendekatkan mereka ke tempat lebih baik.

Dalam rentang waktu lebih panjang, selalu berpikir positif hanya memperburuk diri dan keadaan. Kita tidak hanya memiliki energi yang lebih sedikit untuk mengolah tindakan, tetapi juga lebih mudah menutup diri dari kenyataan sehingga peluang untuk memfungsikan diri dengan lebih dewasa tertutup. Inilah mengapa berpikir positif sangat terbatas. Penerapannya sering dipaksakan dan hanya berfungsi dalam keadaan dan durasi waktu tertentu.

Jika seperti itu, apa yang bisa kita lakukan? Berpikir negatif?

Marcus Aurelius, tidak mengawali harinya dengan berpikir positif. Dalam jurnalnya, Meditation, dia menulis:

When you wake up in the morning, tell yourself: the people I deal with today will be meddling, ungrateful, arrogant, dishonest, jealous, and surly. They are like this because they can’t tell good from evil. But I have seen the beauty of good, and the ugliness of evil, and have recognized that the wrongdoer has a nature related to my own—not of the same blood and birth, but the same mind, and possessing a share of the divine.

Ketika kamu bangun di pagi hari, katakan pada dirimu sendiri: orang yang aku hadapi hari ini akan ikut campur, tidak tahu berterima kasih, sombong, tidak jujur, cemburu, dan bermuka masam. Mereka seperti ini karena mereka tidak bisa membedakan yang baik dari yang jahat. Namun aku telah melihat keindahan kebaikan, dan keburukan kejahatan, dan telah mengakui bahwa pelaku kesalahan memiliki sifat dasar yang berhubungan dengan diriku sendiri—bukan dari darah dan kelahiran yang sama, tetapi pikiran yang sama, dan memiliki bagian dari yang Ilahi.

Ini akan menjadi sesuatu yang sulit untuk kita terima. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hal negatif secara sadar? Bukankah itu sama saja membiarkan diri untuk cemas, marah, atau sedih? Bukankah itu artinya berpikir positif jauh lebih baik?

Kenyataannya, Marcus Aurelius tidak menjadikan pikiran negatif sebagai bahan memperburuk diri. Dia menjadikan pikiran negatif sebagai penyeimbang, pengingat, dan alat kesadaran untuk tidak dibodohi ekspektasi tak bergaransi.

Dalam filsafat Stoa, latihan seperti itu dinamakan premeditatio malorum—membayangkan hal-hal yang bisa salah atau bisa hilang dari kita. Oettingen menyebut cara itu sebagai mental contrasting atau kontras mental. Sebuah pendekatan yang lebih baik dengan menggabungkan pikiran positif dan pikiran negatif.

Kita tidak hanya berpikir tentang keinginan yang masuk akal dan berpotensi dapat dicapai, tetapi juga memikirkan tantangan, atau rintangan yang akan menyertainya. Ini membantu kita untuk siap pada kemunduran hidup yang tak terhindarkan. Lagi pula, memang sudah seharusnya kita membuka diri pada hal-hal buruk yang mungkin terjadi karena ketika kita memilih untuk bersikap kukuh—tidak mengizinkan diri untuk menjadi rentan, percaya bahwa potensi yang ada merupakan kepastian—kita akan semakin sulit menyambut dan mengolah ekspresi ketika dunia menyuguhkan komposisi kenyataan yang menyakitkan.

Kita perlu mengakui bahwa kita sering kali terburu-buru menghadapi sebuah realitas hingga mengabaikan langkah-langkah pentingnya, yaitu melihat, merenung, dan memahami. Selain membuat kita mampu mengevaluasi risiko lebih dalam, menghadirkan pikiran negatif di tengah narasi pikiran positif adalah cara sehat untuk tidak membiarkan satu dari keduanya mengambil alih diri. Di titik pertemuan itulah perspektif yang bisa memandu kita menghadapi segala situasi dengan lebih sehat bisa kita temukan.

• • •

From the book The Missing Point: yang banyak orang tidak pikirkan tentang tujuan dan kegagalan by Wahyu Saputra. Copyright ©2021 by Wahyu Saputra. Published by EA Books. All rights reserved.