Boundaries memberikan pemahaman yang cukup baik tidak hanya dalam membuat batasan dengan diri sendiri, tetapi juga batasan dengan keluarga, teman, pasangan, anak, pekerjaan.
Tanpa adanya batasan, kita akan menghadapi kebingungan antara tanggung jawab dan kepemilikan dalam hidup. Kita perlu membuat batasan mental, fisik, emosional, dan spiritual untuk membedakan mana tanggung jawab kita dan mana yang tidak.
My Reading Notes
- Ketidakmampuan untuk menetapkan batasan yang tepat pada waktu dengan orang-orang yang tepat bisa sangat merusak.
- Batasan menentukan kita. Mereka mendefinisikan apa yang untuk diriku dan apa yang tidak. Batasan menunjukkan di mana aku berakhir dan orang lain memulai, menuntunku pada rasa kepemilikan.
- Kita memiliki keburukan di dalam dan kebaikan di luar. Dalam hal ini, kita harus mampu membuka batasan kita untuk membiarkan yang baik masuk dan yang buruk keluar karena seringkali kita tidak menyesuaikannya. Terkadang kita menutup batasan kita untuk hal-hal baik dari orang lain, dan tetap dalam keadaan kekurangan. Terkadang, kita membuka batasan kita untuk hal-hal buruk yang memperburuk keadaan kita.
- Terkadang seseorang menekan kamu untuk melakukan sesuatu. Di lain waktu tekanan datang dari perasaanmu sendiri tentang apa yang “harus” kamu lakukan. Jika kamu tidak dapat mengatakan tidak pada tekanan eksternal atau internal ini, kamu telah kehilangan kendali atas propertimu dan tidak menikmati buah dari “pengendalian diri”.
- Sekilas, individu yang mengalami kesulitan dalam menentukan batasan adalah orang yang memiliki masalah batasan. Namun, orang yang tidak menghormati batasan orang lain juga memiliki masalah batasan.
- Tipe-tipe orang yang memiliki masalah batasan:
- Compliants: Mengatakan “tidak” pada hal yang buruk. Mereka memiliki batasan yang kabur dan tidak jelas. Mereka “melebur” menjadi tuntutan dan kebutuhan orang lain, tidak bisa berdiri sendiri. Ketakutan untuk tidak menaati hati nurani diterjemahkan menjadi ketidakmampuan untuk menghadapi orang lain—mengatakan ya untuk yang buruk—karena itu akan menyebabkan lebih banyak rasa bersalah.
- Avoidants: Mengatakan “tidak” pada hal yang baik. Ketidakmampuan untuk meminta bantuan, untuk mengenali kebutuhan sendiri, untuk membiarkan orang lain masuk. Mereka menarik diri saat mereka membutuhkan. Mereka tidak meminta dukungan orang lain.
- Controllers: Tidak bisa menghargai batasan orang lain. Mereka memiliki masalah untuk mendengar dan menerima batasan orang lain. Ketika mendapat penolakan, mereka lebih berusaha mengontrol orang lain, ingin mengubah keputusan mereka dan menolak bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri.
- Nonresponsives: Mereka kekurangan perhatian terhadap cinta. Padahal, kita bertanggung jawab untuk peduli dan membantu—dalam batasan tertentu—lainnya.
- Batasan fungsional mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas, proyek, atau pekerjaan. Ini berkaitan dengan kinerja, disiplin, inisiatif, dan perencanaan.
- Batasan relasional mengacu pada kemampuan untuk berbicara kebenaran kepada orang lain dengan siapa kita berada dalam hubungan.
- Banyak orang memiliki batasan fungsional yang baik, tetapi batasan relasional yang buruk—mereka dapat melakukan tugas dengan tingkat kompetensi yang cukup tinggi, tetapi mereka mungkin tidak dapat jujur kepada teman mereka tentang apa yang dirasakan. Kebalikannya juga bisa benar. Beberapa orang dapat benar-benar jujur kepada orang lain tentang keluhan dan ketidaksukaan mereka, tetapi tidak dapat bangun untuk bekerja di pagi hari.
- Batasan diri itu tidak diwariskan, tetapi dibangun. Pembangunan batasan diri memang sedang dalam proses, tetapi tahap paling penting berada pada masa kecil kita di mana karakter kita dibentuk.
- Pola asuh orang tua yang baik tidak secara emosional mengubah anak untuk memiliki batasan yang sama.
- Tahap pengembangan batasan:
- Bonding: Fondasi dalam membangun batasan. Perkembangan batasan pertama bagi seorang anak adalah memiliki hubungan dengan orang tuanya. Mereka harus merasakan bahwa mereka diterima dan aman di dunia ini. Maka, orang tua harus menyediakan lingkungan emosi yang konsisten, hangat, dan penuh dengan kasih sayang untuk anak-anaknya.
Jika fondasi ini rusak, batasan akan sulit dikembangkan karena ketika kita kekurangan hubungan, kita tidak memiliki tempat untuk berlabuh ketika ada masalah. Perasaan tidak aman bahwa kita dicintai memaksa kita untuk: membatasi diri dan menolak meminta pertolongan, atau tidak membatasi diri dan terkurung dalam harapan orang lain. - Separation and Individuation: Konstruksi Jiwa. Saat bayi mendapatkan rasa keamanan internal dan keterikatan, kebutuhan kedua muncul—kebutuhan bayi akan otonomi, atau kemandirian. “Pemisahan” mengacu pada kebutuhan anak untuk menganggap dirinya berbeda dari Ibu, sebuah pengalaman “bukan aku”. “Individuation” menggambarkan identitas yang dikembangkan anak saat terpisah dari Ibu. Ini adalah pengalaman “aku”.
- Bonding: Fondasi dalam membangun batasan. Perkembangan batasan pertama bagi seorang anak adalah memiliki hubungan dengan orang tuanya. Mereka harus merasakan bahwa mereka diterima dan aman di dunia ini. Maka, orang tua harus menyediakan lingkungan emosi yang konsisten, hangat, dan penuh dengan kasih sayang untuk anak-anaknya.
- Penyebab luka pada batasan:
- Withdrawal from boundaries: Tak satu pun dari kita senang mendapatkan kata tidak. Namun hubungan yang baik dibangun di atas kebebasan untuk menolak dan menentang. Ketika anak-anak merasa orang tua menarik diri, mereka langsung percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas perasaan orang tua mereka. Itulah yang dimaksud mahakuasa: “Aku cukup kuat untuk membuat Ayah dan Ibuku menjauh. Aku lebih baik menontonnya.”
Penarikan emosional orang tua bisa jadi tidak kentara: Nada suara yang menyakitkan. Keheningan panjang tanpa alasan. Atau bisa juga menangis. Sakit. Berteriak. Anak-anak dari orang tua seperti ini tumbuh menjadi orang dewasa yang takut bahwa menetapkan batasan akan menyebabkan pengucilan dan pengabaian yang parah. - Hostility Against Boundaries: Adalah keadaan di mana orang tua marah kepada anak yang mencoba memisahkan diri dari mereka. Akhirnya, lahirlah hukuman, kemarahan, atau konsekuensi yang tidak tepat.
Anak membutuhkan kekuasaan dan kontrol dari orang tua mereka, tetapi ketika orang tua menghukum mereka yang mencoba mandiri, mereka akan sakit hati dan benci.
Orang tua harus mampu mengajarkan disiplin—seni mengontrol diri menggunakan konsekuensi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab harus menyebabkan ketidaknyamanan dan memotivasi mereka untuk lebih bertanggung jawab. Dari pada mengatakan, “Rapikan tempat tidurmu, atau kamu akan dihukum selama sebulan,” orang tua bisa mengatakan, “Kamu memiliki pilihan: Merapikan tempat tidurmu, dan aku akan mengizinkanmu bermain Nintendo, atau tidak merapikan tempat tidurmu dan kamu tidak boleh main Nintendo seharian.” Dengan sebuah pilihan, anak akan memutuskan rasa sakit apa yang harus diterima ketika tidak patuh. - Overcontrol: Terjadi ketika orang tua mencoba melindungi anak mereka dari kesalahan dengan membuat aturan yang terlalu ketat. Meskipun tanggung jawab utama orang tua yang baik adalah mengontrol dan melindungi, mereka harus memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk membuat kesalahan. Terlalu mengontrol anak membuat mereka tunduk pada ketergantungan, kesulitan mengatur dan menjaga batasan, dan mengalami kesulitan untuk mengambil risiko dan menjadi kreatif.
- Lack of Limits: Orang tua yang kekurangan batasan bisa menyakiti perkembangan karakter anak. Anak memiliki kontrol terhadap keputusan orang tuanya.
- Inconsistent Limits: Terkadang, karena kebingungan, orang tua menggabungkan antara batasan yang ketat dan tidak, mengirim pesan yang berlawanan kepada anak. Akhirnya, anak tidak tahu apa peraturan keluarga dan kehidupan. Mereka tidak yakin tentang siapa mereka dan apa tanggung jawab mereka.
- Trauma: Trauma yang dialami anak akan merusak perkembangan batasan mereka. Emosi, fisik, dan kekerasan seksual menimbulkan trauma. Kecelakaan, dan sakit menimbulkan trauma. Kehilangan yang besar, atau kesulitan finansial juga menimbulkan trauma.
Mereka merasa dunia ini tidak aman dan mempertanyakan kontrol terhadap kehidupan mereka sendiri.
- Withdrawal from boundaries: Tak satu pun dari kita senang mendapatkan kata tidak. Namun hubungan yang baik dibangun di atas kebebasan untuk menolak dan menentang. Ketika anak-anak merasa orang tua menarik diri, mereka langsung percaya bahwa mereka bertanggung jawab atas perasaan orang tua mereka. Itulah yang dimaksud mahakuasa: “Aku cukup kuat untuk membuat Ayah dan Ibuku menjauh. Aku lebih baik menontonnya.”
- Orang-orang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak berfungsi, atau keluarga yang tidak menerapkan cara-cara batas Tuhan, memiliki pengalaman yang mirip dengan pengalaman alien. Mereka sakit hati, lapar, dan mungkin berakhir di penjara, tetapi mereka tidak pernah tahu prinsip-prinsip yang dapat membantu mereka beroperasi sesuai dengan kenyataan. Mereka adalah tawanan dari ketidaktahuan mereka sendiri. Ada 10 hukum batasan yang membuat kita akan merasakan pengalaman yang berbeda:
- Law 1: The Law Sowing and Reaping. Hukum dasar kehidupan tentang sebab dan akibat.
- Law 2: The Law of Responsibility. Kita bertanggung jawab kepada diri sendiri dan sesama —dalam lingkup mencintai dan mengingatkan orang lain.
- Law 3: The Law of Power. Memahami bahwa kita memiliki kuasa pada hal yang bisa kita kontrol, dan tidak memiliki kuasa pada hal yang tidak bisa kontrol.
- Law 4: The Law of Respect. Jika kita menginginkan orang lain menghargai batasan kita, kita juga harus menghargai batasan mereka.
- Law 5: The Law of Motivation. Kebebasan atas rasa takut menjadi yang utama sebelum melayani orang lain. Jika kita melayani untuk mendapatkan kebebasan atas rasa takut, kita akan gagal.
- Law 6: The Law of Evaluation. Kita harus mengevaluasi konsekuensi atas batasan kita dan bertanggung jawab kepada orang lain, tetapi bukan berarti kita harus menghindari batasan karena seseorang meresponnya dengan rasa sakit atau kemarahan.
- Law 7: The Law of Proactivity. Kita mengambil alih tindakan untuk memecahkan masalah berdasarkan nilai, keinginan, dan kebutuhan kita.
- Law 8: The Law of Envy. Kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan jika kita fokus pada hal yang di luar batas kita.
- Law 9: The Law of Activity. Kita perlu mengambil inisiatif dalam menetapkan batasan.
- Law 10: The Law of Exposure. Kita harus mengomunikasikan batasan kita kepada orang lain.
- Dalam hubungan, beberapa tugas dilakukan oleh secara individu, dan beberapa dilakukan bersama. Ketika keduanya menjadi satu pada hari pernikahan mereka, pasangan tidak kehilangan identitas individu mereka. Masing-masing berpartisipasi dalam hubungan tersebut, dan masing-masing memiliki kehidupannya sendiri.
- Hati yang terluka membutuhkan waktu untuk sembuh. Kamu tidak bisa terburu-buru kembali ke posisi kepercayaan dengan terlalu banyak rasa sakit yang belum terselesaikan. Rasa sakit itu perlu diungkapkan dan dikomunikasikan.
- Batasan membantu menciptakan keseimbangan timbal balik, bukan keseimbangan terbagi. Mereka membantu pasangan menjaga pertanggungjawaban satu sama lain.
- Mengembangkan batasan pada anak adalah tindakan pencegahan. Jika kita mengajarkan tanggung jawab, penetapan batas, dan penundaan kepuasan sejak dini, tahun-tahun akhir kehidupan anak-anak kita akan semakin lancar. Semakin lama kita mulai, semakin keras kita dan mereka untuk memperbaikinya.
- Disiplin dan hukuman memiliki hubungan yang berbeda dengan waktu. Hukuman melihat ke belakang. Dia memfokuskan apa yang harus dibayar karena kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Disiplin melihat ke depan. Pelajaran yang kita pelajari dari disiplin membantu kita untuk tidak membuat kesalahan yang sama lagi.
- Ketika anak-anak diajarkan untuk mengalami kebutuhan mereka sendiri, yang bertentangan dengan kebutuhan orang lain, mereka telah diberi keuntungan yang tulus dalam hidup. Mereka lebih mampu menghindari kelelahan emosi yang disebabkan oleh “ketidakpedulian” terhadap orang lain.
- Bagaimana kita dapat membantu anak-anak kita sadar akan kebutuhan individu mereka sendiri? Hal terbaik yang dapat dilakukan orang tua adalah mendorong ekspresi verbal dari kebutuhan tersebut, bahkan ketika mereka tidak “mengikuti arus keluarga”. Ketika anak-anak memiliki izin untuk meminta sesuatu yang bertentangan dengan keinginannya—meskipun mereka mungkin tidak menerimanya—mereka mengembangkan perasaan tentang apa yang mereka butuhkan.
- Orang tua yang bijaksana membiarkan anak-anak mereka menjalani “penderitaan yang aman”. “Penderitaan yang aman” berarti membiarkan anak mengalami konsekuensi yang sesuai dengan usianya. Membiarkan anak berusia enam tahun keluar rumah setelah gelap tidak melatihnya untuk menjadi dewasa. Dia membuat keputusan yang dia tidak memiliki kedewasaan untuk membuat keputusan.
- Anak-anak perlu memiliki rasa kendali dalam pilihan hidup mereka. Mereka perlu melihat diri mereka sendiri bukan sebagai bidak orang tua yang bergantung dan tidak berdaya, tetapi sebagai agen yang memilih, bersedia, dan mengambil inisiatif dari kehidupan mereka sendiri.
- Orang tua yang cemas dan bermaksud baik berusaha mencegah anak mereka membuat keputusan yang menyakitkan. Mereka melindungi mereka dari pelanggaran. Moto mereka adalah, “Sini, izinkan ayah/ibu memutuskannya untuk kamu.” Akibatnya anak-anak menjadi berhenti berkembang dalam karakter mereka. Anak-anak membutuhkan perasaan bahwa hidup mereka, takdir mereka adalah bagian milik mereka. Ini membantu mereka mempertimbangkan pilihan, daripada menghindarinya. Mereka belajar menghargai konsekuensi dari pilihan yang dibuat, daripada membenci pilihan yang dibuat untuk mereka.
- Pekerja yang efektif melakukan dua hal: mereka berusaha melakukan pekerjaan yang sangat baik, dan mereka menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang paling penting. Banyak orang melakukan pekerjaan luar biasa tetapi membiarkan diri mereka tersimpangkan oleh hal-hal yang tidak penting. Mereka mungkin melakukan hal-hal yang tidak penting dengan sangat baik dan merasa telah melakukan pekerjaan dengan baik, tetapi bos mereka kesal karena tujuan penting tidak tercapai. Mereka kemudian merasa tidak dihargai dan kesal karena mereka telah mengerahkan banyak tenaga. Mereka bekerja keras, tetapi mereka tidak membatasi ke mana waktu dan tenaga mereka harus habiskan.
- Tempat kerja idealnya harus mendukung, aman, dan mengasuh. Tetapi suasana ini berhubungan dengan pekerjaan—untuk membantunya belajar, meningkatkan kemampuan, dan menyelesaikan pekerjaan. Masalah muncul ketika seseorang ingin pekerjaan menyediakan apa yang tidak disediakan oleh orang tuanya: pengasuhan utama, hubungan, harga diri, dan persetujuan. Pekerjaan tidak diatur seperti ini. Konflik yang melekat dalam pengaturan ini adalah ini: Pekerja mengharapkan fungsi orang dewasa di mana bisa memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Harapan yang berbeda pasti akan bertabrakan.
- Pola perilaku yang ada mungkin berasal dari masalah keluarga, penelantaran, pelecehan, atau trauma. Dengan kata lain, konflik yang ada pada batasan kita tidak semua kesalahan kita, tetapi itu masih menjadi tanggung jawab kita.
- Kesembuhan bagi para korban sulit karena proses perkembangan mereka telah rusak atau terganggu oleh penyalahgunaan. Kerusakan paling utama yang terjadi adalah korban kehilangan kepercayaan. Kepercayaan, kemampuan untuk bergantung pada diri kita sendiri dan orang lain pada saat dibutuhkan, adalah kebutuhan dasar spiritual dan kelangsungan hidup emosional. Kita harus bisa mempercayai persepsi kita sendiri tentang realitas dan mampu membuat orang penting penting bagi kita.
- Batasan tanpa konsekuensi bukanlah batasan. Kamu harus memutuskan apakah kamu bersedia untuk menegakkan konsekuensinya sebelum kamu menetapkan batasan.
- Memaafkan adalah sesuatu yang kita lakukan di dalam hati kita. Kita membebaskan seseorang dari hutang yang mereka miliki kepada kita. Kita tidak lagi mengutuknya. Dia bersih. Hanya satu pihak yang dibutuhkan untuk pengampunan: aku. Orang yang berhutang tidak perlu meminta maaf.
- Orang cenderung mencari masalah di luar dirinya. Perspektif eksternal ini membuat kamu menjadi korban. Dikatakan bahwa kamu tidak akan pernah bisa baik-baik saja sampai orang lain berubah. Ini adalah inti dari kesalahan yang tidak berdaya. Ini mungkin membuatmu secara moral lebih unggul dari orang itu (dalam pemikiranmu sendiri, tidak pernah dalam kenyataan), tetapi itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah.
- Hadapi dengan tegas penolakan untuk melihat dirimu sebagai orang yang harus berubah. Sangat penting bagi kamu untuk menghadapi diri sendiri, karena itulah awal dari batasan. Tanggung jawab dimulai dengan fokus internal. Kamu harus mengakui kebenaran tentang cara-caramu mempertahankan ketakterbatasanmu, dan kamu harus berpaling dari cara-cara itu. Kamu harus melihat diri sendiri dan menghadapi penolakan internal.
- Ketidakmampuan kita untuk marah pada umumnya merupakan tanda bahwa kita takut akan keterpisahan yang timbul karena mengatakan yang sebenarnya. Kita takut mengatakan kebenaran tentang ketidakbahagiaan kita kepada seseorang akan merusak hubungan, tetapi ketika kita mengakui bahwa kebenaran selalu menjadi teman kita, kita mengizinkan diri kita untuk marah.
- Jika kita menemukan hubungan di mana kita memiliki kebebasan untuk menetapkan batasan, sesuatu yang indah terjadi. Selain kebebasan untuk mengatakan tidak, kita menemukan kebebasan untuk mengatakan ya dengan sepenuh hati, tidak bertentangan, dan didorong rasa syukur kepada orang lain. Kita menjadi tertarik pada pecinta batasan, karena di dalamnya, kita mendapatkan izin untuk menjadi individu yang jujur, otentik, dan penuh kasih.