Factfulness: Ten Reasons We’re Wrong About the World and Why Things Are Better Than You Think akan menjabarkan 10 insting yang mendistorsi pikiran kita dalam melihat dunia secara semestinya.
Selama bertahun-tahun mengajukan pertanyaan tentang tren global, misalnya kemiskinan, kesehatan, lingkungan, kepada orang-orang di berbagai negara, Rosling menemukan bahwa pada umumnya orang percaya bahwa dunia ini semakin buruk, padahal fakta dan data yang ada menunjukkan sebaliknya, dunia ini semakin baik.
My Reading Notes
1. The Gap Instinct: Kecenderungan kita untuk membagi hal-hal menjadi dua kelompok berbeda dan seringkali saling bertentangan dengan kenyataan.
Dengan data yang ada, Hans menjelaskan bahwa dunia ini tidak dibagi menjadi dua kelompok, negara maju dan negara berkembang, tetapi dia membaginya ke dalam 4 level penghasilan di mana level 1 adalah orang-orang miskin, dan level 4 adalah orang-orang kaya. Dan, kebanyakan orang di dunia ini berada di tengah-tengahnya.
Setiap figur di atas mewakili 1 milyar orang, dan 7 figur mewakili seluruh populasi di dunia yang dibagi ke dalam 4 level.
Kita bisa melihat bahwa kebanyakan orang di dunia ini hidup pada level 2 dan 3, di mana kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi. Maka, membagi dunia ini hanya sebatas negera berkembang dan maju adalah hal yang tidak masuk akal, kata Rosling.
Untuk mengontrol gap instinct, kita harus bisa mencari mayoritas.
2. The Negativity Instinct: Kecenderungan kita untuk lebih memperhatikan yang buruk daripada yang baik.
Media secara terus-terusan memperingatkan kita tentang kejadian buruk di masa sekarang. Mengapa? Karena berita seperti itulah yang memberi pundi-pundi uang, atau juga karena kebanyakan orang tertarik dengan hal yang buruk. Padahal jika melihat data, banyak hal di dunia ini yang semakin lebih baik, seperti hak wanita, pendidikan, demokrasi, sains, alam yang dilindungi.
Ketika dibombardir berita semacam itu, kita secara tidak sadar kehilangan kemampuan untuk melihat masa lalu yang bisa saja lebih buruk dari hari ini. Ilusi ini bisa membuat kita stres dan kehilangan harapan.
Untuk mengontrol the negativity instinct, kita harus menyadari bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini bisa baik dan buruk.
Does it make sense to say that the infant’s situation is improving? Yes. Absolutely. Does it make sense to say it is bad? Yes, absolutely. Does saying “things are improving” imply that everything is fine, and we should all relax and not worry? No, not at all. Is it helpful to have to choose between bad and improving? Definitely not. It’s both. It’s both bad and better. Better, and bad, at the same time. That is how we must think about the current state of the world.
— Hans Rosling
3. The Straight Line Instinct: Kecenderungan kita untuk berasumsi bahwa suatu garis hanya akan terus lurus dan mengabaikan bahwa garis seperti itu jarang terjadi dalam kenyataan.
Contohnya adalah populasi. Kita berpikir bahwa populasi di dunia akan menunjukkan angka yang terus naik. Padahal, menurut UN experts, angka kelahiran anak-anak akan mengalami penurunan.
Peningkatan populasi tetap akan terjadi, tetapi bukan karena semakin banyaknya anak-anak, tetapi karena tingkat hidup orang-orang yang semakin lama. Jika mau melihat lebih detail, peningkatan yang terjadi disebabkan karena semakin banyaknya orang-orang dewasa, bukan anak kecil, bukan juga orang tua.
Untuk mengontrol the straight line instinct, ingatlah bahwa kurva bisa datang dalam bentuk yang berbeda. Jangan beranggapan bahwa garis akan selalu lurus!
4. The Fear Instinct: Kecenderungan bawaan kita lebih memperhatikan hal-hal yang menakutkan.
Kita cenderung lebih takut naik pesawat daripada naik kendaraan bermotor, padahal tingkat kecelakaan naik pesawat lebih kecil. Mengapa? Lagi-lagi media memiliki kontribusi dalam menanamkan ketakutan ini dengan hanya menyiarkan hal-hal buruk tanpa memberitakan pencapaian baik.
Poinnya, kita harus meletakkan data dan fakta, bukan pada asumsi semata.
What kind of evidence would convince me to change my mind? If the answer is “no evidence could ever change my mind about vaccination,” then you are putting yourself outside evidence-based rationality, outside the very critical thinking that first brought you to this point.
— Hans Rosling
Hans juga menyindir kita dengan menuliskan, “In that case, to be consistent in your skepticism about science, next time you have an operation please ask your surgeon not to bother washing her hands.“
Untuk mengontrol the fear instinct, hitunglah risikonya dan tenangkan dirimu sebelum mengambil tindakan!
5. The Size Instinct: Kecenderungan kita untuk mendapatkan hal-hal di luar proporsi atau dengan kata lain melebih-lebihkan. Data yang nampak kecil bisa saja besar, begitupun sebaliknya.
The most important thing you can do to avoid misjudging something’s importance is to avoid lonely numbers. Never, ever leave a number all by itself. Never believe that one number on its own can be meaningful. If you are offered one number, always ask for at least one more. Something to compare it with. Be especially careful about big numbers.
— Hans Rosling
Untuk mengontrol the size instinct, bandingkan dengan data lain!
6. The Generalization Instinct: Kecenderungan kita menganggap semuanya atau semua orang dalam satu kategori serupa. Kita bisa melompat ke kesimpulan yang mencerminkan seluruh kategori berdasarkan beberapa, atau bahkan hanya satu, contoh yang tidak biasa.
Jika kita pikir orang yang hidup di level 1 itu berbeda-beda di setiap negara, kita salah. Orang yang hidup di level 1 di negara A memiliki kehidupan yang sama dengan orang yang hidup di level 1 di negara B.
Untuk mengontrol the generalization instinct, kita harus mempertanyakan kategori yang kita percayai. Kita harus mencari perbedaan dalam grup tersebut.
7. The Destiny Instinct: Gagasan bahwa karakteristik bawaan menentukan nasib orang, negara, agama, atau budaya. Segala sesuatu terjadi karena alasan takdir yang tak terhindarkan. Mereka selalu seperti itu dan tidak akan pernah berubah.
Insting itu salah karena negara A yang saat ini konservatif, bisa saja berubah di masa yang akan datang karena perubahan kecil yang tidak terlihat.
Once you have learned something, it stays fresh forever and you never have to learn it again. In the sciences like math and physics, and in the arts, that is often true. In those subjects, what we all learned at school (2 + 2 = 4) is probably still good. But in the social sciences, even the most basic knowledge goes off very quickly.
— Hans Rosling
Untuk mengontrol the destiny instinct, ingatlah bahwa perubahan kecil tetaplah perubahan!
8. The Single Perspective: Kecenderungan kita untuk fokus pada satu sebab atau perspektif ketika harus memahami dunia.
Seorang yang ahli tidak mengartikan dirinya bebas dari kesalahan. Kita harus bisa menerima perspektif baru dan mengevaluasinya karena mempertahankan perspektif yang kita miliki dengan data yang sebenarnya salah tidak akan membawa kita ke mana-mana kecuali dunia yang sempit.
You can have opinions and answers without having to learn about problem from scratch and you can get on with using your brain for other tasks. But it’s not so useful if you like to understand the world. Being always in favor of or always against any particular idea makes you blind to information that doesn’t fir your perspective. This is usually a bad approach if you like to understand reality.
— Hans Rosling
Untuk mengontrol the single perspective instinct, kita harus mau membuka diri untuk menerima hal baru, bahkan jika itu berlawanan dengan apa yang kita percaya, bukan berpaku pada satu hal saja.
9. The Blame Instinct: Kecenderungan kita untuk menemukan alasan yang jelas dan sederhana mengapa sesuatu yang buruk terjadi. Ketika ada sesuatu yang salah, kita akan dengan mudah beranggapan bahwa itu terjadi karena orang jahat yang memiliki niat jahat.
Misalnya, jurnalis memang memiliki andil dalam memberitakan sesuatu yang buruk, tetapi menyalahkan mereka juga bukanlah sebuah solusi. Bisa saja mereka melakukannya karena memang tidak tahu kebenaran yang asli. Jadi, daripada menyalahkan orang, lembaga, negara, dll, alangkah baiknya kita tidak mengharapkan apa-apa dari mereka dan lebih memilih untuk memfokuskan diri melakukan perbaikan yang bisa dilakukan.
This instinct to find a guilty party derails our ability to develop a true, fact-based understanding of the world: it steals our focus as we obsess about someone to blame, then blocks our learning because once we have decided who to [blame] we stop looking for explanations elsewhere. This undermines our ability to solve the problem or prevent it from happening again because we are stuck with over simplistic finger-pointing, which distracts us from the more complex truth and prevents us from focusing our energy in the right places.
— Hans Rosling
Untuk mengontrol the blame instinct, jangan pernah mencari kambing hitam! Kita harus bisa mencari penyebab, bukan penjahatnya.
10. The Urgency Instinct: Kecenderungan kita untuk mengambil tindakan secara cepat dalam menghadapi bahaya yang akan segera terjadi.
Jika kita hidup di masa lalu, insting ini akan berguna ketika kita berjumpa dengan singa. Hal itu menjadi tidak masuk akal jika kita terlalu banyak menganalisis, tetapi masalah yang kita hadapi sekarang lebih kompleks dan seringkali lebih abstrak. Saat sebuah pemahaman tidak melewati tahapan seleksi, kita akan melewatkan hal penting yang bisa mencegah penyesalan di kemudian hari.
Naluri urgensi bisa membuat kita tersesat saat mencoba memahami dunia sekitar jika kita menilai sebuah data atau informasi tanpa memberikan diri waktu untuk mencerna atau mencari perbandingan data lain.
When you are called to action, sometimes the most useful action you can take is to improve the data.
— Hans Rosling
Untuk mengontrol the urgency instinct, pastikan untuk mengambil langkah kecil!