Bayangkan jika kamu adalah seorang atlet renang Olimpiade. Kamu telah mempersiapkan semuanya dengan baik. Kamu memperhatikan pola makan dan kebutuhan gizimu secara ketat, berlatih dari hari ke hari untuk memecahkan rekormu sendiri, bahkan untuk sementara waktu, kamu menyempitkan hidupmu hanya untuk berenang. Semua kamu lakukan agar kamu bisa melihat emas dikalungkan di lehermu.
Sayangnya, saat hari besar itu datang, waktumu di garis akhir hanya menunjukkan bahwa kamu nomor empat. Kamu kalah.
Normalnya, kamu akan merasakan kekecewaan, atau yang lebih buruk, depresi karena gagal membayar kepercayaan yang diberikan oleh negaramu. Perasaan bangga yang sebelumnya ada tiba-tiba runtuh hanya dalam waktu yang singkat.
Kamu mungkin memang bukan atlet dalam kehidupan nyata, tetapi kejadian seperti itu bukanlah sebuah imajinasi kosong. Psikolog olahraga Scott Goldman menyebutnya sebagai post-Olympic depression.
Jika kamu mengira itu hanya berlaku bagi para atlet yang kalah, kamu salah. Faktanya, post-Olympic depression juga menyerang mereka yang berhasil mendapatkan medali emas.
Pada Olimpiade London 2012, Allison Schmitt, atlet renang wanita dari Amerika, tenggelam dalam perasaan yang tidak pernah kita pikirkan ada dalam diri seorang pemenang. Setelah memenangkan lima medali di mana tiga di antaranya emas, Allison mengalami depresi dan membutuhkan konseling.
Mark Spitz, seorang perenang Amerika di tahun 70-an yang memenangkan tujuh medali emas dan mencetak tujuh rekor dunia di ’72 Munich Games menggambarkan apa yang ada di dalam pikiran para atlet.
…Jika aku berenang enam kali dan menang enam kali, aku menjadi pahlawan. Jika aku berenang tujuh dan menang enam, aku gagal.
Kita memang tidak bisa membenarkan bahwa apa yang dirasakan Allison adalah karena “kegagalannya” untuk menyapu bersih seluruh emas, tetapi berdasarkan Spitz, kita bisa melihat bahwa beberapa atlet memiliki masalah dalam memperlakukan sebuah hasil. Dan, itu menyangkut identitas diri mereka.
Goldman setuju bahwa ketika para atlet terlalu mengidentifikasi diri dengan olahraga mereka, mereka dapat kehilangan kesadaran tentang siapa mereka. Mereka terlalu kaku dengan identitas sebagai perenang. Sehingga ketika dihadapkan pada kehidupan biasa, mereka menemukan kesulitan karena kehilangan persaingan yang meningkatkan adrenalin, perhatian penonton dan media, serta kemenangan.
Dengan kata lain, mereka kecanduan untuk memegang status mereka sebagai atlet hingga sulit menerima semua kenyataan saat menjadi organisme yang hanya berstatus manusia. Mereka kesulitan memulai kehidupan dengan lembaran baru karena tempat ternyaman mereka tidak lagi tersedia.
• • •
Dua Fungsi Identitas
Siapa di dunia ini yang tidak ingin mewujudkan harapan atau tujuannya? Selama kesadaran berfungsi secara baik, setiap dari kita selalu berusaha untuk mencapai tujuan. Tentu saja karena kita percaya bahwa kebahagiaan, atau setidaknya ketenangan, ada di sana. Lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa kita mendasarkan setiap usaha yang kita keluarkan untuk mencapai sebuah identitas.
Misalnya, dalam kehidupan profesional, kita akan mengambil tindakan seperti bekerja keras, disiplin, menyelesaikan proyek sebaik mungkin untuk mendapatkan identitas sebagai karyawan yang baik.
Berbeda lagi jika kita sedang berkumpul dengan teman-teman kita. Keinginan kita untuk menjaga kualitas hubungan memengaruhi tindakan kita untuk selalu sejalan dengan budaya yang diusung di dalam hubungan tersebut. Di sini, kita sedang mengusahakan identitas sebagai sahabat yang baik.
Persamaan dari dua contoh di atas adalah memfungsikan identitas untuk ditujukan kepada orang lain. Kita berusaha membangun identitas tidak hanya untuk mendapatkan validasi dari orang lain, tetapi juga untuk mendapatkan perasaan lebih hidup karena memiliki tempat untuk meletakkan kebutuhan emosi.
Masalahnya, jika kita hanya memfungsikan identitas untuk ditujukan kepada orang lain, ketergantungan kita pada hal eksternal semakin tinggi. Kita kehilangan kontrol, lebih memilih mengikuti arus meskipun sebenarnya tidak lagi sesuai dengan diri dan menolak perubahan dengan mekanisme bertahan yang tidak sehat—mengeluh, menyalahkan keadaan atau orang lain, hingga depresi.
Yang harus kita perhatikan, penjelasan itu tidak mengartikan bahwa memfungsikan identitas untuk ditujukan kepada diri sendiri—identitas tentang siapa diri kita, baik atau buruk, tanpa membutuhkan validasi orang lain—adalah jalan keluar terbaik yang bisa kita ambil.
Memfungsikan identitas untuk ditujukan kepada diri sendiri memang bisa membantu kita dalam mengenali diri sendiri, tetapi hanya berpegang teguh padanya seringkali justru membuat kita egois dan mengisolasi diri—menutup diri dari segala umpan balik konstruktif yang diberikan orang lain. Kita sok kuat dengan mempertahankan kepercayaan lama yang bisa saja merupakan masalah yang tidak kita sadari.
• • •
Terikat Satu Identitas
Untuk memahaminya lebih lanjut, aku menemukan sebuah analogi yang menarik.
Bayangkan dirimu adalah seekor tikus di atas toples yang dipenuhi oleh potongan keju. Daripada harus mengeluarkan tenaga untuk mencari makanan di tempat lain, otak mengesahkan diri untuk memakan keju yang ada di toples. Itu merupakan kemenangan besar karena dalam beberapa hari ke depan, kamu tidak perlu lagi mencari makanan. Semuanya mudah dan telah tersedia.
Hingga kejutan yang luput dari perhatianmu terjadi. Keju itu habis dan kamu sekarang berada di dalam dasar toples. Artinya? Kamu terjebak. Tidak memiliki jalan keluar.
Keju adalah metafora identitas—yang ditujukan kepada orang lain atau yang ditujukan kepada diri sendiri. Sedangkan berada di dasar toples adalah momen ketika apa yang biasa memenuhi kebutuhan kita, lenyap.
Ketika kita kecanduan pada satu identitas—karyawan perusahaan ternama, guru, seniman, pasangan yang baik—dan fungsinya, apa pun itu, kita akan terus-menerus membangun nilai yang sejalan dengan identitas tersebut dan secara tidak sadar telah menelantarkan identitas lain yang menjadi pelengkap untuk mencapai kehidupan yang ideal.
Lihat saja atlet renang Olimpiade. Walaupun mereka mendapatkan kedua fungsi dalam satu identitas—ditujukan untuk diri sendiri dengan berenang, dan memiliki kesempatan untuk merasakan fungsi identitas yang ditujukan untuk orang lain dengan berhasil mencatatkan namanya dalam daftar penerima medali—hal itu tidak menjamin mereka menjauhi kekosongan—tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memberi kepuasan kepada emosi ketika mengakhiri identitas sebagai perenang.
Kita memang masih bisa bertahan hidup dengan hanya bergantung pada satu identitas dan fungsinya. Dengan menyenangkan atasan, kita bisa mengamankan identitas sebagai pegawai yang baik. Dengan menyelesaikan pesanan klien secara tepat waktu, kita bisa mempertahankan identitas sebagai pekerja yang profesional. Dengan menjadi pasangan yang suportif, kita bisa menjaga identitas sebagai kekasih yang positif, tetapi itu semua tidak selalu linier dengan keadaan dan apa yang diinginkan hati. Ada kalanya umpan balik yang biasa kita dapatkan hilang. Maka, jangan kaget jika kita hanya mendapatkan keuntungan di awal atau di tengah cerita, dan berakhir seperti tikus yang terjebak di dasar toples.
Kita memang membawa identitas dan fungsinya ke mana pun kita pergi, tetapi kita tidak akan pernah bisa memainkannya selama 24 jam. Di satu titik, kita harus meletakkan semuanya. Bukan dalam makna meninggalkan sepenuhnya, tetapi dalam makna beradaptasi dengan kebutuhan yang berbeda.
Para atlet telah menunjukkan kepada kita akibat jika gagal melepas identitas—perenang. Mereka menemukan kesulitan untuk menikmati realitas kehidupan di luar identitas tersebut. Mereka gagal melihat bahwa di tempat, di waktu, dan di situasi yang berbeda, kebutuhan mereka berubah. Mereka gagal memahami bahwa menjalani kehidupan adalah tentang berganti-ganti identitas dan memainkan fungsinya sesuai kebutuhan.
Itu juga berlaku bagi kita semua. Kita tidak bisa melekatkan identitas sebagai orangtua ketika kita sedang meeting di kantor. Kita tidak bisa melekatkan identitas sebagai petinju ketika kita sedang berkumpul dengan sahabat.
Ketika kita gagal melepas identitas, dan fungsinya dalam kebutuhan yang berbeda, kita hanya dipertemukan dengan kekosongan. Kita tidak bisa merasakan kenikmatan dalam setiap aktivitas karena tidak ada pertukaran nilai yang sesuai.
Maka, solusi terbaik yang bisa kita ambil adalah: Kita harus bisa memperbanyak identitas diri dan sanggup memainkan fungsinya dengan tingkatan yang sehat—tidak berlebihan dalam menginvestasikan usaha pada satu hal saja, dan dilakukan dengan tidak menyembunyikan siapa diri kita sebenarnya.
Jika kamu adalah seorang anak, membangun identitas sebagai koki bisa mempermudah hidup ketika merantau. Jika kamu adalah seorang penyanyi, membangun identitas sebagai pelukis bisa memberikan pelarian positif saat diserang rasa bosan.
Memperbanyak identitas akan memberi kita kemampuan beradaptasi dengan keadaan lebih cepat. Dengan beradaptasi lebih cepat, kita tahu apa saja tindakan yang harus diambil untuk memenuhi kebutuhan yang ada dihadapan kita sekaligus merupakan bentuk menjauhi kekosongan.
Bukankah dengan cara itu kualitas hidup kita terjaga?