Setelah mengatakan bahwa memiliki iPhone adalah hal yang memalukan, Stephen Elop yang saat itu merupakan CEO Nokia, mengambil dan melempar iPhone milik Hjallis Harkimo, pemandu acara talk show Finlandia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan telekomunikasi asal Finlandia itu sempat merangkak ke posisi pertama sebagai merek ponsel terbesar di dunia setelah menggeser Motorola di tahun 1998. Sejarah yang diiringi pencapaian kemudian dicatat.
Dalam waktu yang relatif singkat, kejayaan Nokia meroket. Di tahun 1999, 2000, dan 2002, Nokia berhasil menorehkan angka fantastis dalam laporan penjualan mereka. Puncaknya di tahun 2003, Nokia memecahkan rekor perusahaan dan menduduki peringkat pertama sebagai ponsel paling laris di dunia karena berhasil menjual sebanyak lebih dari 250 juta unit hanya melalui Nokia 1100.
Semua berjalan lancar. Semua berjalan menguntungkan. Hingga di belahan sisi dunia lain, Apple menyiapkan senjata untuk bertempur dalam wilayah yang sama. Bersama Steve Jobs, Apple memperkenalkan iPhone pertama di tahun 2007. “iPhone adalah produk revolusioner dan ajaib yang secara harfiah lima tahun lebih cepat dari ponsel lainnya”, kata Steve Jobs, CEO Apple. “Kita semua dilahirkan dengan perangkat penunjuk terbaik—jari kita—dan iPhone menggunakannya untuk menciptakan antarmuka pengguna yang paling revolusioner sejak mouse.”
Gebrakan baru itu melahirkan kontradiksi yang sangat jelas. Di saat perusahaan-perusahaan besar lain masih berkutat dengan layar kecil dan papan ketik, Apple menawarkan desain baru dengan sistem operasi yang lebih dinamis, iOS. Tentu saja, tidak semua orang menerimanya. CEO Microsoft saat itu, Steve Ballmer, bahkan mengatakan tanpa ragu bahwa iPhone “tidak memiliki peluang” untuk mengambil alih pasar smartphone.
Elop memiliki narasi pikiran yang sama. Baginya, iPhone tidak akan menggeser posisi Nokia. Dengan keyakinan yang tinggi, Nokia akan tetap bisa bertahan dengan sistem operasinya, Symbian. Sayangnya, pasar tidak peduli dengan keyakinanmu. Dia terus bergerak, melahirkan jalan cerita baru, yang jika tidak kamu tanggapi secara cermat mampu membuatmu tersentak sebelum akhirnya menangis.
Di tahun 2008, Nokia mendapat tamu baru. Dengan menggandeng HTC, Google meluncurkan ponsel dengan sistem operasinya, Android. Secara perlahan namun pasti, reaksi pasar membungkam kepercayaan Elop dan Balmer. iOS dan Android yang berfokus pada aplikasi seluler memiliki cara berkomunikasi yang lebih baik dengan para penggunanya. Sedangkan Symbian milik Nokia masih tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Akibatnya, hanya dalam enam tahun, nilai pasar Nokia terjun sekitar 90%.
Melihat keadaan yang semakin sulit, Nokia mengambil lompatan baru. Pada tahun 2011, mereka bermitra dengan Microsoft untuk memberikan alternatif ketiga, Windows Phone. Rupanya, keadaan tidak jauh berbeda. Kali ini, Nokia harus mengakui bahwa dominasi dan pencapaian besar di masa lalu tidak menjamin kesamaan kenyataan di masa depan. Pada tahun 2013, Microsoft mengakuisisi Nokia dengan mahar lebih dari $7 miliar sebelum akhirnya dijual kembali ke anak perusahaan Hon Hai/Foxconn Technology Group dan HMD Global tiga tahun kemudian.
Nokia terlambat berubah. Nokia terlambat berbenah. Posisi mereka sebagai pemimpin pasar berakhir menjadi sejarah. Mengapa?
• • •
Jatuhnya Kekuasaan Nokia
Penyangkalan terhadap apa yang terjadi terkadang memang tidak terlalu memberikan dampak yang besar di waktu sekarang. Namun, ketika garis waktu itu diperpanjang ke depan, dan berbagai pertimbangan dilibatkan, membuka ruang untuk menempatkan fakta yang berlawanan dengan kepercayaan atau umpan balik dari pengalaman eksternal seharusnya menjadi hal yang tidak diabaikan.
Semakin sering kita menghiraukan tentang apa yang terjadi dalam wilayah paling penting bagi diri kita, semakin besar kemungkinan kita untuk membangun kebiasaan mental yang justru mempersulit keadaan. Kita hanya mau bergerak sesuai dengan keyakinan, atau kepercayaan bahwa semua baik-baik saja, bahwa semua akan berubah menjadi lebih baik. Pilihan lain yang bisa menjanjikan jalan cerita yang lebih sehat dibungkam. Tindakan yang sesuai dengan kebutuhan dianggap nihil. Jangan heran jika kita kian menjauhi kerelevanan realitas di masa kini. Secara sederhana, kemampuan kita dalam mengambil keputusan menjadi buruk. Dan, inilah yang terjadi pada Nokia.
Freek Vermeulen, profesor strategi dan kewirausahaan di London Business School, menilai bahwa para eksekutif Nokia terjebak dalam sunk cost fallacy yang menjelaskan adanya kecenderungan untuk terus mendorong usaha karena takut kehilangan semua hal yang telah diinvestasikan di masa lalu—waktu, tenaga, emosi, atau uang—meskipun itu menciptakan ketidaknyamanan atau keadaan lebih buruk.
Dalam makalah Distributed Attention and Shared Emotions in the Innovation Process: How Nokia Lost the Smartphone Battle, Tim O. Vuori, asisten profesor dalam manajemen strategis di Universitas Aalto, dan Qui Huy, Profesor Strategi di INSEAD Singapura, menjabarkan bahwa setelah mewawancarai 76 orang karyawan Nokia yang terdiri dari manajer tinggi dan menengah, serta insinyur dan pakar eksternal, mereka menemukan satu garis besar: Nokia jatuh karena adanya ketakutan di dalam manajemen.
Manajer tinggi takut jika tidak bisa memenuhi target penjualan kuartal. Manajemen menengah takut dipecat jika mengatakan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Mengakui bahwa Symbian tidak lebih baik dari iOS dan Android? Itu hanya dipandang sebagai cara untuk kehilangan investor, pemasok, dan pelanggan. Mengembangkan sistem operasi baru? Itu membutuhkan sumber daya yang tidak murah dan tidak sebentar.
Kedua hal itu tidaklah terpisah. Sunk cost fallacy dan ketakutan memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam psikologi kognitif dan teori keputusan, Daniel Kahneman, seorang pemenang hadiah Nobel 2002 dalam ilmu ekonomi, dan temannya Amos Tversky menjelaskan bahwa alasan mengapa seseorang bisa terjebak dalam sunk cost fallacy adalah karena loss aversion di mana keinginan untuk menghindari rugi—takut kehilangan—lebih besar daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, fokus dan usaha terikat pada kemunduran, bukan kemajuan.
Pada akhirnya, meskipun Nokia melihat iOS dan Android sebagai ancaman serius, sunk cost fallacy menghalangi mereka untuk melakukan perubahan yang dituntut oleh keadaan. Keputusan yang seharusnya ditujukan untuk kepentingan jangka panjang—seperti mengembangkan sistem operasi baru—tidak pernah lahir. Manajemen justru memutuskan untuk mengembangkan perangkat telepon baru yang hanya membantu perusahaan dalam durasi yang pendek.
Harapan Nokia untuk mempertahankan dominasi, keinginan untuk menyelamatkan muka dihadapan pasar, atau usaha untuk menyelamatkan Symbian, hanya berakhir dengan jatuhnya kekuasaan Nokia.
• • •
Potongan “Aku” di Setiap Pengalaman
Sunk cost fallacy mendikte kita ke arah yang salah—melanjutkan usaha yang sebenarnya membuat kita tidak bahagia, dan bahkan memperburuk keadaan. Jika dilihat dalam segi bisnis, hal itu seharusnya tidak terlalu sulit untuk diatasi, atau sebenarnya ada hal yang kita lewatkan?
Ketakutan setiap karyawan Nokia yang ditunjukkan dalam berbagai ekspresi—marah, mengalah, atau bekerja dengan lebih keras—tidak hanya disebabkan ancaman eksternal yang mengganggu kelancaran bisnis perusahaan. Lebih dalam lagi, mereka melihat sebuah ancaman internal, sebuah ancaman yang mengusik nilai personal mereka. Mereka takut dipecat. Mereka takut kehilangan sumber penghidupan. Mereka takut kehilangan status. Tidak heran jika mereka lebih mengikuti alur daripada berbalik dan menciptakan perubahan.
Di titik tertentu, kita tidak jauh berbeda.
- Lebih memilih menonton film yang tidak kamu nikmati daripada pulang atau melakukan kegiatan lain? Itu sunk cost fallacy!
- Lebih memilih mempertahankan hubungan yang toksik daripada mengakhirinya? Itu sunk cost fallacy!
- Lebih memilih melanjutkan pekerjaan dengan lingkungan yang tidak sehat daripada mencari pekerjaan lain? Itu sunk cost fallacy!
Kita melihat “tidak kehilangan” sebagai hal yang lebih memberikan kenyamanan daripada “mendapatkan keuntungan” yang belum pasti. Kita melanjutkan menonton film yang tidak kita nikmati. Kita tinggal dalam hubungan yang toksik. Kita bertahan dalam lingkungan pekerjaan yang menguras emosi. Kita meyakinkan diri sendiri dengan mengatakan, “Tahan sebentar lagi, pasti akan berbuah manis.” Sebuah proses di mana harapan menjadi pemandu. Pengandaian menjadi obat peringan rasa sakit.
Konsisten melakukan sesuatu memang merupakan hal yang baik, tetapi kita juga harus ingat bahwa itu harus diimbangi dengan konteks yang baik. Jika konteksnya sudah kacau dan mengubah keadaan menjadi sesuatu yang mendekati ketidakmungkinan, menyerah bisa menjadi jalan keluar yang lebih menguntungkan daripada melanjutkan rencana dengan perasaan yang buruk. Namun, justru di sanalah kesulitan itu.
Kita sama-sama paham bahwa tidak mudah bagi siapa pun untuk mengakhiri apa yang telah dimulai. Setiap dari kita ingin melihat sebuah rencana bekerja karena cerita yang terbentuk menyangkut hal personal—ada potongan “aku” di dalam setiap pengalaman yang bergulir.
Ini tidak hanya tentang meninggalkan bioskop, tetapi tentang materi dan usaha yang kita keluarkan untuk mendapatkan hak menonton. Ini tidak hanya tentang merelakan pasangan, tetapi tentang keterhubungan yang dibangun dari proses panjang yang melibatkan sumber daya diri. Ini tidak hanya tentang keluar dari pekerjaan, tetapi tentang tanggung jawab diri untuk memenuhi kebutuhan. Kita tidak hanya sedang berjalan menjauhi apa yang kita lakukan, tetapi juga meninggalkan hasil jerih payah dan impian besar kita.
Skenario selanjutnya bisa kita lihat. Biaya yang sudah kita keluarkan—waktu, tenaga, emosi, atau uang—akhirnya memengaruhi pengambilan keputusan. Bukan ke arah yang lebih menguntungkan, tetapi ke arah yang semakin menekan diri kita. Kita lupa bahwa jumlah investasi di masa lalu tidak selalu sejalan dengan apa yang kita dapatkan sekarang.
Semakin lama kita tinggal, semakin sulit kita merelakan.
• • •
Sunk Cost Fallacy atau Masa Depan yang Lebih Romantis?
Dalam menjalankan sebuah rencana, kita memang harus yakin dengan kemampuan kita. Kita harus memiliki rasa optimisme tentang kelancaran yang akan mengikutinya. Sayangnya, tingginya kepercayaan diri yang tercipta di sana sering kali berjalan ke arah yang kurang tepat. Itu membuat kita berkompromi dengan batasan diri ketika sesuatu yang tidak bekerja terjadi. Menggerakkan asumsi untuk membenarkan investasi lampau. Hingga kemudian pengambilan keputusan semakin mendekati kenyataan yang lebih buruk daripada sebaliknya.
Ini semua disebabkan oleh loss aversion yang memainkan peran untuk membenamkan kita dalam sunk cost fallacy.
Katakanlah kamu mengantri untuk mendapatkan menu spesial terakhir dari sebuah restoran cepat saji. Karena kecerobohanmu, menu itu jatuh dan kotor. Sekarang kamu tidak memiliki menu spesial itu. Kamu tidak bisa makan. Kamu rugi.
Cerita akan berbeda jika setelah mengantri menu spesial terakhir, kamu bisa menikmatinya hingga suapan terakhir. Kamu kenyang. Kamu untung.
Apakah kamu sadar jika menu spesial di skenario pertama terlihat lebih berharga daripada di skenario kedua? Tentu saja, dan inilah garis besarnya: Kehilangan sesuatu—kerugian—memperbesar ketakutan daripada keinginan untuk mendapatkan keuntungan dalam tingkatan yang sama.
Tidak mudah untuk keluar dari bioskop dengan film yang payah. Tidak sederhana untuk angkat kaki dari hubungan yang toksik. Tidak gampang untuk resign dari pekerjaan yang makan hati. Namun, kenyataan yang lebih baik itu selalu ada dan itu menuntut kita untuk membuat keputusan yang lebih sehat.
Salah satu jalan untuk mencapainya bukan membandingkan masa lalu dengan masa kini. Hal ini justru membuat kita mengikat diri pada investasi sebelumnya yang akhirnya melahirkan keputusan yang ceroboh. Jalan yang seharusnya kita lalui adalah dengan membandingkan nilai dari dua hasil—satu hasil dengan kerugian, dan hasil lainnya dengan keuntungan—yang kemungkinan sama untuk terjadi di masa depan. Ini menyuruh kita untuk merelakan apa yang sudah kita capai dan berikan karena orientasi kita adalah kualitas pengalaman di kemudian hari.
Kita tidak membingkai skenario biner, ya atau tidak. Kita membingkai skenario dengan melibatkan umpan balik saat ini dan sumber daya untuk menghadapi masa depan. Ini membutuhkan kejujuran untuk melihat kebenaran. “Adalah kebenaran yang aku cari,” kata Marcus Aurelius, “dan kebenaran tidak pernah merugikan siapa pun.”
Namun kehidupan kita sangat kompleks. Setiap dari kita hidup dalam lingkungan yang berbeda, memiliki cara berpikir yang berbeda, dan penerapan tindakan yang berbeda. Tidak heran jika beberapa dari kita justru memilih membohongi diri untuk tinggal dalam sebuah pengalaman yang tidak memberikan kebaikan yang signifikan bahkan cenderung merugikan. Pembohongan itu mungkin mampu bekerja dalam waktu yang singkat sebelum akhirnya meledak dan membuat diri berantakan.
Bagaimanapun, kesempurnaan tidak akan pernah kita capai. Usaha kita keluar dari sunk cost fallacy hanya sebatas menggerakkan realitas ke tempat yang bisa mengurangi tekanan mental. Memang tidak selalu bahagia, tetapi dapat mengurangi gesekan perasaan.
Kita kerap dituntut untuk masuk ke dalam sebuah realitas yang tidak menjamin keberhasilan. Namun, permasalahan terbesar kita bukan di sana. Permasalahan terbesar kita adalah mampukan kita mengakui secara terbuka ketika kita salah melangkah? Maukah kita membangun semangat baru untuk merelakan apa yang sudah kita bangun meskipun itu sangat bersifat personal?
Sunk cost fallacy memberikan gambaran jelas bahwa mengubah haluan bisa menjadi pilihan yang lebih masuk akal. Fokus kita untuk merenungi “investasi yang sudah kita keluarkan dan tidak bisa kembali lagi” lebih kecil daripada fokus kita terhadap “masa depan yang menjanjikan tempat bertumbuh”.
Kita maju dengan menyadari bahwa apa yang terjadi di masa lalu bukanlah kesalahan yang patut diungkit-ungkit apalagi dikeluhkan, tetapi kebenaran yang harus diakui. Dan, mengambil langkah baru setelah pengakuan itu adalah cara membentuk masa depan yang lebih romantis.